PrakarsaNews.com Bila tak ada aral merintang, Senin 16 Desember 2024 sekira pukul 09.00 Wita, Masyarakat Adat Amanuban akan memenuhi udangan DPRD Kaupaten TTS guna menyampaikan klarifikasi berkenaan penolakan Masyarakat Adat Amanuban atas klaim sepihak Kementrian Kehutanan RI atas tanah Masyarakat Amanuban menjadi Kawasan Hutan Produksi Tetap (KHPT) Laob Tumbesi.
Penolakan Masyarakat Amanuban mencuat sejak Agustus 2023, Ketika Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup RI melalui Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Provinsi NTT melakukan Langkah Langkah identifikasi dan Upaya pemasangan patok patok di lahan Masyarakat sebagai Kawasan Hutan Produksi Tetap Laob Tumbesi berdasarkan SK Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup tahun 2016. “Tahun lalu Ketika mereka datang memberi tanda merah di tanaman dalam lahan masyarakat dan bawa patok, masyarakat kaget tapi takut menegur. Masyarakat datang ke kami, menanyakan apa sebabnya setelah raja membagi tanah kepada leluhur kami lalu diam diam diambil Kembali dan serahkan kepada Kehutanan” kisah Pina Ope Nope, Sekretaris Perkumpulan Masyarakat Hukum Adat Amanuban, kepada PrakarsaNews.com, Minggu, 15 Desember 2024.
Sejak, itu, lanjut Pina Ope Nope berbagai Upaya, perjuangan mempertahankan hak masyarakat dilakukan. Mulai Mendatangi Ombudsman RI Perwakilan NTT, Mendatangi Pemerintah Daerah TTS, menyurati Kementrian Keutanan dan Lingkungan Hidup RI ,menyurati Komnas HAM RI dan Presiden Terpilih. “Sejauh ini masih dalam proses dialog dan komunikasi administrative tapi kali ini kami selain menyampaikan point2 klarifikasi kami juga tegas menuntut keberpihakan DPRD kepada Rakyatnya. Bentuk Pansus. Polemik ini harus segera diselesaikan“ ungkap Pina Ope Nope.
Pengamat dan praktisi Hukum, Albert RatuEdoh, SH, MHum mengharapkan penyelesaian segera polemik ini demi kepastian Hukum dan rasa Keadilan Masyarakat. “Pemerintah jangan tergoda Upaya represif. Seperti meng-adu masyarakat dengan Aparat Keamanan. Terbaik itu tempuh jalur hukum. Pemerintah (Kementrian KLH) bisa menggugat masyarakat di desa terdampak Kawasan Hutan Produksi Tetap Laob Tumbesi itu. Atau sebaliknya masyarakat bisa menggugat penetapan Kawasan Hutan Produksi Tetap Leob Tumbesi. Penyelesaian di pengadilan saya kira Langkah terbaik” saran Albert.
Untuk diketahui, dengan ditetapkannya Kawasan Hutan Produksi Tetap, Masyarakat di desa desa terdampak hanya akan mendapatkan fasilitasi sertifikasi Hak Milik untuk lahan seluas 50 X 50 m di pinggiran jalan umum. Selebihnya, walau sudah didiami dan dikelola turun temurun, masuk dalam Kawasan Hutan Produksi Tetap, dimana masyarakat hanya mendapatkan Hak Pakai selama 35 tahun dan dapat diperpanjang 35 tahun berikutnya bila mendapat rekomendasi Pemerintah (Kementrian Kehutanan dan Lingkungan Hidup) RI. “Bila pemerintah tidak mau lagi, maka terpaksa harus keluar” kata Pina dengan nada prihatin (Jo)
Posted in Flobamora